PENGEMBANGAN POTENSI LOKAL YANG MENGHASILKAN PERUBAHAN

12 Januari 2018 | Artikel | 2314 | Admin

 

Rasanya baru kemarin CD Bethesda masuk ke desa-desa baru di wilayah Alor, Sumba Timur dan Malaka untuk mengajak masyarakat dan pemerintah desa lebih peduli dengan kondisi kesehatan secara bersama-sama. Tak terasa sudah dua tahun Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) serta Penanggulangan Penyakit Menular (P2M) di 3 kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) ini berlangsung. Program yang memiliki tujuan umum untuk meningkatkan peran masyarakat dan stakeholder untuk mewujudkan sistem pelayanan KIA serta P2M yang berkualitas di NTT tersebut dimulai sejak Februari 2015 dan berjalan efektif di wilayah program mulai April 2015. Kini, sudah banyak perubahan terjadi dengan munculnya banyak inisiatif kesehatan yang diidentifikasi oleh masyarakat sendiri untuk menanggulangi penyakit menular serta sistem dukungan sosial untuk ibu hamil, ibu menyusui dan balita. Demikian juga respon dan tindaklanjut dari Puskesmas di area program terhadap isu kesehatan yang diidentifikasi oleh masyarakat juga menunjukkan arah yang positif.

Inisiatif kesehatan ini merupakan kesepakatan yang dibangun oleh masyarakat sendiri untuk mengatasi masalah kesehatan, terutama berkaitan dengan penyakit menular, seperti TB, malaria, lepra, filaria, diare dan sebagainya. Sedangkan sistem dukungan sosial yaitu bentuk-bentuk dukungan masyarakat yang terkoordinasi untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak, terutama untuk mengurangi kasus kematian ibu dan bayi serta meningkatkan gizi. Menurut teorinya, dukungan sosial merupakan kenyamanan, perhatian, penghargaan ataupun bantuan yang diterima individu dari orang lain (Sarafino, 2002). Inisiatif kesehatan dari masyarakat dan dukungan sosial ini penting ditekankan sebagai upaya merubah paradigma atau cara pandang kesehatan dari paradigma sakit menjadi paradigma sehat. Dalam paradigma sakit, pendekatan program kesehatan yang berorientasi menurunkan kematian ibu-bayi, pemberantasan penyakit menular dan perbaikan gizi bayi-balita bersifat “top-down” (dari atas ke bawah). Sedangkan paradigma sehat bersifat “bottom-up” (dari bawah ke atas) dengan berupaya meningkatkan dukungan dan keterlibatan elemen masyarakat dalam program-program kesehatan berbasis komunitas.

Mengapa perlu partisipasi dan dukungan masyarakat dalam program kesehatan? Menurut Dra. Ayun Sriatmi, M.Kes., dosen Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang, dalam Diskusi Reflektif Program KIA dan P2M yang diadakan di UPKM/CD Bethesda Yogyakarta tanggal 10 Februari 2016, setidaknya ada empat alasan utama perlunya partisipasi dan dukungan masyarakat, yaitu: pertama, masalah kesehatan bukan hanya tanggung jawab pemerintah; kedua, untuk meningkatkan kemandirian dan tanggung jawab; ketiga, lebih murah dan “cost-effective” (lebih efektif); serta keempat, untuk membangun kemitraan. Dengan demikian diharapkan akan tercipta suatu pelayanan untuk masyarakat, dari masyarakat dan oleh masyarakat. Menurut Ayun, “Masyarakat bisa menciptakan pelayanan sendiri yang memang diperlukan, bentuk pengorganisasian masyarakat pun muncul dari masyarakat sendiri dan pelayanan akan dikerjakan oleh masyarakat sendiri secara sukarela.” Oleh sebab itu, penting untuk membangun partisipasi berbasis potensi lokal.

Mengapa potensi lokal? Membangun peran serta aktif masyarakat dengan memanfaatkan potensi lokal berarti menghargai hak masyarakat untuk menentukan sendiri kebutuhannya dan hak mendapatkan kesempatan yang sama dalam pelayanan kesehatan. Upaya menggali potensi masyarakat setempat ini menggunakan prinsip partisipatif agar program kesehatan sejalan dengan kearifan masyarakat lokal (local wisdom) dan sesuai dengan nilai-nilai budaya lokal yang telah berkembang di masyarakat secara turun temurun. Dengan pendekatan demikian, diharapkan dapat membantu menyelesaikan masalah kesehatan sesuai “sosial budaya masyarakat” yang tentunya dengan mengikuti kaidah dan metode empiris dan dapat dipertanggung jawabkan secara etik ilmiah.

Metode yang digunakan CD Bethesda untuk memunculkan partisipasi masyarakat berupa inisiatif kesehatan dan dukungan sosial berbasis potensi lokal ini yaitu SALT. Metode SALT menekankan pada identifikasi kekuatan, potensi dan aset masyarakat, tidak memulai dari kelemahan atau identifikasi masalah. Kunci cari cara kerja SALT yaitu adanya kegiatan kunjungan rumah untuk saling berbagi, menghargai, mendengarkan dan menghubungkan kekuatan, potensi dan aset dari keluarga yang dikunjungi. Kunjungan dilakukan oleh Tim Kunjungan SALT yang terdiri dari Tim Kesehatan Desa (TKD), kader dan tokoh masyarakat yang memiliki kepedulian yang sama. Kunjungan rumah ini merupakan dasar untuk membangun hubungan dan respon yang berkelanjutan di masyarakat. Hasil kunjungan SALT ini selanjutnya dibawa dan disampaikan dalam pertemuan di desa untuk dibahas dan ditetapkan prioritas isu yang akan menjadi program kerja desa.

Melalui penggunaan metode SALT, pelibatan aktif TKD dan koordinasi dengan stakeholder, nyatanya program yang berjalan bisa membawa perubahan nyata yang dirasakan manfaaatnya oleh masyarakat. Dengan kunjungan SALT, TKD bisa menjangkau orang-orang yang selama ini terabaikan dan kurang mendapat penanganan, misalnya orang yang terpapar TB yang sebelumnya tidak mendapat perhatian karena sudah tidak berdaya, sudah minum obat anti-TB dan bisa sembuh sehingga bisa beraktivitas kembali. Proses screening TB untuk memastikan suspek benar-benar menderita TB berdasarkan pemeriksaan laboratorium juga telah mampu melibatkan peran aktif TKD, anggota keluarga, petugas Puskesmas serta Dinas Kesehatan.

Penemuan kasus TB pun bisa signifikan dan memenuhi standar Proporsi pasien TB BTA+ diantara suspek yang ditetapkan Kementerian Kesehatan RI yaitu sekitar 5 - 15%. Selama tahun 2016, di 10 desa sasaran di wilayah Alor telah memeriksa 307 suspek TB dan sebanyak 20 orang (6,5% dari suspek) dinyatakan BTA+ atau positif TB. Di 12 desa di wilayah Malaka dari 151 suspek TB yang diperiksa dahaknya, sebanyak 22 orang (14,5% dari suspect) dinyatakan BTA+. Sementara di 9 desa di wilayah Sumba Timur dari 267 suspek TB, sebanyak 26 orang (9,7% dari suspek) dinyatakan BTA+.

Orang dengan HIV-AIDS (ODHA), setelah diketahui status HIV-nya, kini juga sudah mendapatkan penanganan lanjutan, pengobatan ARV serta mendapat dukungan dari berbagai pihak. Dalam rangkaian peringatan Hari AIDS Sedunia 20116 di Kabupaten Malaka, berhasil dilaksanakan VCT bagi anggota TNI, Polri dan masyarakat yang rentan terinfeksi HIV. Total ada 84 orang yang melakukan VCT dan 2 orang dinyatakan positif terinfeksi HIV. Keduanya dirujuk ke RS Atambua, Kabupaten Belu, untuk pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut. Di wilayah Malaka juga sudah mulai terbentuk Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) agar ODHA bisa mendapatkan layanan konseling, pendampingan perawatan kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit. Demikian juga di wilayah Alor, dalam pertemuan stakeholder HIV dan AIDS yang diikuti oleh Dinas Kesehatan, Klinik VCT RSUD Alor, ODHA dan CD Bethesda, disepakati pembentukan KDS Mahenza dan selanjutnya akan diadakan pertemuan rutin KDS di Kalabahi.

Berkaitan dengan pelayanan KIA, kepercayaan masyarakat (terutama ibu hamil dan pasangannya), sedikit demi sedikit mulai terbangun dan mau melakukan pemeriksaan kehamilan dan menjalani persalinan di tempat layanan kesehatan. Perubahan nyata terjadi dalam pelayanan persalinan di wilayah project di kecamatan Alor Barat Daya (ABAD), Kabupaten Alor yaitu dari persalinan di rumah berubah menjadi di fasilitas kesehatan. Saat CD Bethesda awal masuk, tidak pernah terjadi pelayanan persalinan di fasilitas kesehatan di desa. Akhirnya melalui pendidikan kesadaran tentang perawatan kehamilan dan persalinan yang aman serta pendekatan ke petugas kesehatan, saat ini masyarakat maupun petugas kesehatan sudah memaksimalkan tempat pelayanan kesehatan di desa untuk pemeriksaan kehamilan dan persalinan.

Sementara di kecamatan Mataru Alor, jika di awal program hampir semua desa tidak ada petugas kesehatan, terutama bidan, yang tinggal bersama masyarakat dan perkunjungan petugas kesehatan tidak mesti ada tiap bulan, kini petugas kesehatan sudah ada yang tinggal di tengah masyarakat dan memberikan pelayanan, masyarakat juga sudah mulai antusias dengan berkunjung di fasilitas kesehatan desa. Hal ini bisa ditunjukkan di desa Taman Mataru yang semula pemeriksaan kehamilan sesuai standar hampir tidak ada dan persalinan masih dilakukan di rumah dan ditolong dukun kampung, bahkan ada ibu yang bersalin sendiri. Setelah ada kesepakatan antara petugas kesehatan dan masyarakat, saat ini pelayanan kesehatan yang dilakukan petugas kesehatan sudah mulai intensif, ibu hamil mulai memeriksakan kehamilan dan persalinan sudah ada di faskes desa.

Setelah dua tahun berjalan, pengembangan potensi dan aset lokal serta dengan menggerakkan partisipasi aktif masyarakat, telah nyata efektif mampu memunculkan inisiatif kesehatan di hampir 90% desa mitra (27 desa dari 31 desa) yang diidentifikasi oleh masyarakat sendiri untuk menanggulangi penyakit menular. Bentuk-bentuk inisiatif kesehatan antara lain berupa melaporkan kejadian kematian balita ke puskesmas, mengadakan sosialisasi penyakit menular, tes darah untuk malaria, penjaringan suspek TB dan pendampingan pengambilan dahak dan rongent ke laboratorium puskesmas/ rumah sakit, kerja bakti pembersihan lingkungan dan pemberantasan sarang nyamuk. Di tahun ketiga ke depan, diharapkan inisiatif kesehatan bisa merata di semua desa.

Sistem dukungan sosial untuk ibu hamil, ibu menyusui dan balita juga sudah efektif berlangsung di hampir 80% desa mitra (24 desa dari 31 desa). Bentuk-bentuk dukungan sosial, antara lain berupa: tabungan ibu hamil, konstribusi dari hasil arisan kader TKD untuk pembuatan makanan tambahan (PMT) bayi/balita di Posyandu, iuran ibu-ibu untuk PMT pangan lokal setiap bulan, arisan bersama TKD, Bides, Pemdes dan hasilnya ada kontribusi dari setiap penerima arisan untuk pembelian bibit tanaman obat, menanam pohon kelor untuk peningkatan gizi ibu dan anak dan pembuatan kebun sayur organik oleh TKD.

Ada pula Sekretaris Desa membuat kebijakan agar dukun kampung tidak melakukan pertolongan persalinan langsung tetapi diserahkan ke bidan desa, dukungan pemerintah desa untuk persalinan wajib di fasilitas kesehatan, iuran masyarakat Rp 2.000/KK untuk mendukung transportasi pasien TB dan ibu melahirkan, adanya ambulan desa (motor ojek), pemeriksaan golongan darah pada masyarakat, tabungan untuk kesehatan dan pendidikan anak di posyandu, pembelian 1 tandu gawat darurat terutama untuk ibu hamil, serta ada simpan pinjam untuk ibu hamil dan orang sakit. Harapan ke depan, dukungan sosial akan berlanjut dan menjadi kegiatan rutin sehingga menjadi budaya sosial yang dilakukan masyarakat dengan berbagai pihak, seperti posyandu, Puskesmas, lembaga sosial desa, aparat pemerintah desa maupun anggota masyarakat secara pribadi.

Puskesmas di Malaka Barat, Wileman, Moru, Mainang, Mataru, Probur, Nggoa dan Pandawai yang sudah efektif merespon inisiatif dan usulan dari masyarakat, diharapkan juga menjadi budaya kerja dalam memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi masyarakat. Peningkatan kapasitas yang dilakukan secara berkelanjutan dan dukungan fasilitas serta anggaran yang memadai menjadi kebutuhan bagi para petugas kesehatan yang bekerja secara gigih di masyarakat.*